Ketika Cinta Bertasbih…

jreng, jreng….

sebelum kita membahas artikel saya lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa meskipun judul di atas memang ngeplek/copy-paste dengan sebuah judul buku novel best seller di Indonesia, tidak ada niatan sedikitpun dari saya untuk mengupas tuntas buku atau versi filmnya, bersamaan ini juga saya harus memastikan kepada anda bahwa saya tidak berniat gembar gembor kepada teman pembaca sekalian bahwa saya termasuk pemain aktor di dalam filem tersebut!! Sumpah!!…

tapi dapat saya pastikan kepada teman pembaca bahwa judul di atas 100% ada kaitannya dengan artikel pemasaran saya kali ini (ini serius ini pren). You see, dalam membahas pemasaran, kita pasti nggelibet dengan yang namanya konsumen ato customer kita, ya to? ketika kita membahas bab produk, maka kita akan membahas tentang kemampuan produk tersebut dalam mendeliverkan nilai kepada konsumen, ketika kita membahas harga, maka kita membahas tingkat harga yang dipandang sesuai dengan persepsi konsumen tentang produk yang kita tawarkan, ketika kita membahas promosi, sederhananya kita membahas tentang cara kita memperkenalkan produk kita kepada konsumen, ketika kita membahas saluran distribusipun, kita juga pasti berorientasi pada konsumen, dalam arti bagaimana kita mendeliverkan produk kita, mempermudah akses konsumen dalam mencapai produk kita. maka mulai dari membahas produk, harga, promosi, saluran distribusi, (yang dikenal dengan nama marketing mix, bauran pemasaran, 4P), kata kunci berupa ‘konsumen‘ ato ‘pelanggan’ tak pernah ketinggalan untuk nimbrung..

Konsep pemasaran yang baik selalu berorientasi pasar (market oriented). Dan definisi pasar dalam pemasaran itu sendiri adalah sekumpulan pembeli aktual + potensial, bukan pertemuan permintaan dan penawaran seperti yang didengungkan oleh ilmu Ekonomi. Ketika ada kata-kata seperti ini, “pasar produk ini siapa?’, maka kita sedang tidak membahas tentang pertemuan permintaan dan penawaran produk tersebut, tapi kita sedang membahas siapa se sebenarnya yang menjadi sasaran/target produk tersebut.

nah pertanyaannya sekarang adalah bagaimana persepsi kita tentang konsumen kita? bagaimana kita memandang konsumen kita? sekali lagi, pertanyaannya adalah bagaimana kita memandang konsumen kita ? sekedar konsumen? yang kalo sudah bayar, ya sudah, gitu? orang yang sekedar lewat? ato lebih dari sekedar konsumen? atauuuu…. someone who we fall in love with? tau maksudnya? mengapa saya harus menanyakan semua itu?

karena sudut pandang pemasaran yang pertama, yang menyatakan konsumen hanyalah konsumen, tentu berbeda dan pasti sangat jauh perbedaannya dibandingkan dengan sudut pandang yang menyatakan bahwa konsumen adalah orang yang kita sayangi, cintai. yang pertama, akan cenderung ala kadarnya, buat produk sekedarnya, servis ala kadarnya, jualan tanpa ekspresi, datar-datar saja, egois, orientasinya hanya dirinya sendiri (pokoknya gue untung, masalah loe buntung, IDL! Itu Derita Loe!!), dalam jangka pendek, sikap atau pola pikir seperti ini tentu menguntungkan, karena dengan produk ala kadarnya, dan dari bahan seadanya, biaya yang dikeluarkan bisa lebih rendah, unsur kualitas hampir tidak dijamah, la karena biaya rendah, maka harga yang di tawarkan pun lebih rendah (harga adalah cerminan biaya), memang harga rendah pasti menarik perhatian konsumen (so pasti dong!). tapi bicara loyalitas konsumen? nanti dulu, belum tentu….

sementara sudut pandang pemasaran yang menyatakan bahwa konsumen adalah ‘kekasih’nya, tentunya teman2 tau sendiri, bagaimana orang itu kalo lagi kasmaran, ya to? mesraaa banget, semenit tidak bertemu, serasa seminggu! Dunia serasa hanya milik berdua, yang lain nge-kos! ngontrak! dan biasanya pasangan tersebut akan sangat perhatian antara satu dengan lainnya, kalo ada yang sedang kesulitan, maka pasangannya akan berusaha membantu, ungkapan yang tepat dalam menggambarkan hubungan tersebut biasanya adalah ‘gue tertawa kalo loe tertawa, gue ikut sedih kalo loe sedih, penderitaan loe adalah penderitaan gue’. nah kalo mindset pemasaran berbasis cinta ini dilakukan, maka betapa indahnya dunia!, karena dengan mindset ini, kita tidak ingin main-main dalam berurusan dengan pasangan kita, yang dalam hal ini adalah konsumen. kita akan menganggap konsumen kita adalah segala-galanya bagi kita. sehingga dalam membuat produk, menentukan harga, memilih promosi, dan merencanakan saluran distribusi, kita selalu mendasarkan pada kepuasan konsumen. kita ingin agar dan berusaha agar konsumen kita selalu menyukai kita. salah satu keunggulan mindset pemasaran seperti ini adalah adanya pemosisian ‘konsumen sebagai raja’ akan membuat peluang terjadinya loyalitas konsumen yang semakin meningkat, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan profit kita juga…

Know what i mean, pren?? i hope soo…